Pemerintah Dinilai Gagal Dalam Mengendalikan Harga Minyak Goreng Dipasaran
Kasatnews.id , Batubara – Pengendalian operasi pasar sering dilakukan pemerintah terkait kelangkaan dan naiknya harga pasar atas suatu produk. Beberapa kebijakan khususnya produk-produk barang yang disupply dari industri perusahaan BUMN sering dirasakan berhasil. Namun dari beberapa jenis produk kebutuhan masyarakat tersebut seharusnya berbeda perlakuannya. Apalagi naiknya harga penjualan minyak goreng saat ini lebih dipengaruhi oleh kenaikan harga CPO dunia yang menyebabkan eksportir melakukan aksi beli terhadap ketersediaan minyak domestik untuk dieksport dengan harga tinggi dipasaran dunia saat ini.
Pemerintah seolah-olah kehabisan akal dalam menanggulangi masalah ini, hal itu terlihat dari berbagai terjangan dan solusi penyelesaiannya yang terlihat kurang memahami persoalan. Adanya kebijakan pemberlakuan harga ditingkat tradisional market dan modern market dalam strategy penjualan yang telah lama dijadikan pijakan baik oleh distributor atau pun produsen dalam menentukan harga jual mereka tidak dipahami secara jelas. Sehingga pengendalian melalui operasi pasar yang langsung ke pusat persoalan, terhadap produk yang bukan merupakan berasal dari pasokan perusahaan BUMN sebagai mana kelangkaan gas dari pertamina, atau beras yang dikendalikan oleh bulog tentu membawa dampak yang berbeda pula.
Jika penetrasi harga yang selama ini diberlakukan terhadap pasar-pasar tradisional untuk langsung on the spot ke jantung persoalan sebagai aspek hilir dari bertemunya pihak penjual dengan masyarakat secara langsung, namun hal itu tentu tidak akan efektif jika harga produk tersebut justru dipengaruhi oleh sistem FIFO yang berdampak pada harga beli lama dan harga beli baru masih menyisakan disparitas sebagai selisihnya, dimana para pedagang pun tidak akan membiarkan diri mereka mengalami kerugian pada transaksi yang terjadi. Pemahaman posisi pedagang pasar seperti ini terlihat kurang dipahami secara jelas.
Walau pemberlakuan harga demikian ketat diawasi dan ancaman kepada siapa saja yang sengaja menjual harga pasaran lebih tinggi dari ketentuan pemerintah, namun respon masyarakat pun belum terlihat patuh atas kebijakan tersebut, sebab alasan perbedaan harga beli dan kerugian yang diakibatkan pada persoalan ini tidak dimasukkan pada aspek kebijakan pemerintah tersebut. Ditambah lagi, mata rantai pasokan barang yang berlangsung sejak lama dalam aturan kebijakan swasta justru menjadi ketentuan yang dianggap keramat oleh para pedagang jika ingin barang yang mereka jual tetap disupply oleh agen, distributor dan produsennya.
Sebab pedagang adalah ujung tombak dari proses pentingnya menjaga kelangsungan market penjualan yang sulit ditembus sekalipun pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengancam, menghentikan atau menutup industri manapun yang dirasakan melakukan pembangkangan terhadap ketentuan pemerintah yang ditetapkan. Oleh karenanya, jika pemerintah mencoba melakukan penetrasi harga sebagai kebijakan operasi pasarnya, tentu harus dimulai pada aspek hulu sebagai penentu kebijakan serta pengendali tertinggi atas pasokan setiap barang yang beredar di warung-warung atau pasar tradisional dan retail modern saat ini.
Kegagalan pengendalian harga minyak goreng ini lebih disebabkan lambatnya penanganan yang dilakukan pemerintah dalam hal ini kementrian perdagangan yang jika lebih spesifik lagi adalah Dirjen Perdagangan Dalam Negeri yang belum menemukan titik pengendalian atas situasi semacam ini. Apalagi pemberlakuan kebijakan yang pada awalnya untuk memberlakukan pengendalian melalui pasar retail modern seperti mini market dan swalayan, sehingga disparitas harga pun semakin dipertentangkan antara pedagang pasar tradisional versus pasar modern market. Hal ini menampakkan bahwa pengendalian operasi pasar tidak benar-benar efektif dalam melakukan upaya penetrasi harga sebagaimana yang diharapkan.
Kementerian Perdagangan memperkirakan kebutuhan minyak goreng pada 2022 mencapai 5,7 juta kiloliter (kl). Kebutuhan rumah tangga diperkirakan sebesar 3,9 juta kl yang terdiri atas 1,2 juta kl minyak goreng kemasan premium, 231.000 kl kemasan sederhana, dan 2,4 juta kl dalam bentuk curah. Dimana gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia pada 2021 sebesar 46,88 juta ton. Sedangkan posisi ekspor produk minyak sawit Indonesia 2021 yang mencakup minyak sawit mentah atau CPO serta olahan CPO mencapai 34,2 juta ton. Artinya kebutuhan konsumsi minyak goreng dalam negri kita cenderung pada kisaran 12% saja dari volume eksport saat ini.
Volume eksport minyak sawit indonesia tahun 2021 hanya mengalami kenaikan sebesar 0,6% bila dibandingkan tahun 2020 yang lalu, namun realisasi itu menjadi fakta bahwa semestinya ketersediaan rantai pasok bagi kebutuhan minyak goreng dalam negri tidak boleh terganggu dan dijadikan alasan atas naiknya harga barang tersebut dipasaran serta volume kebutuhan yang semestinya aman bagi konsumsi rumah tangga saat ini. Berbagai alasan dikemukakan oleh Dirjen perdagangan dalam negeri yang disampaikannya di tayangan media televisi pada tanggal 5 februari 2022 kemarin. Namun dibalik itu, kita pun paham jika beliau tidak benar-benar menguasai persoalan yang dihadapinya.
Penulis : Andi Salim
Editor. : Aswat