Orientasi Sektor Pertanian Harus Kembali Menjadi Fokus Pemerintah, Ini Dia Sebabnya!
Kasatnews.id , Jakarta – Pertanian adalah suatu jenis kegiatan produksi yang berlandaskan pada proses pertumbuhan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Namun pertanian dapat diartikan dalam arti luas dan sempit. Pertanian dalam arti sempit adalah pengelolaan tanaman khusus atau tanaman pangan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, sedangkan dalam arti luas, pertanian ialah pengolahan tanaman pangan, peternakan, perhutanan dan perikanan yang dapat menghasilkan suatu produk.
Kegiatan pertanian meliputi, kegiatan bercocok tanam atau budi daya Seperti berternak ikan, menanam produk kehutanan, bercocok tanaman, atau kegiatan budidaya tambak yang merupakan pemanfaatan wilayah pesisir sebagai lahan perikanan.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia, populasi pertanian sektor yang paling besar sebagai profesi masyarakat dunia, yaitu 67% dari total penduduk dunia saat ini, dan mampu menyumbangkan 39,4% dari PDB dunia, dan 43% dari semua komoditas eksport dari transaksi berbagai negara.
Amerika Serikat, Jepang, Rusia, China, Francis bahkan India pun hadir sebagai penghasil produk pertanian hingga meraksasa sebagai negara maju didunia, dengan ketahanan pangan yang begitu kuat, bahkan mengeksport produk pertaniannya diberbagai manca negara didunia. Negara maju tersebut pun terus berinovasi di sektor pertanian serta memperluas lahan pertaniannya hingga memiliki ketangguhan tersendiri dibidang yang satu ini.
Indonesia membukukan prestasi yang sedikit membanggakan dalam sektor ini, Nilai ekspor produk pertanian selama Januari-Desember 2020 mencapai Rp 451,8 triliun dan meningkat 15,79 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019 sebesar Rp 390,2 triliun.
Bahkan periode Januari-September 2021, ekspor pertanian mencapai Rp 450 triliun. Padahal jika kita cermati lebih dalam, pagu anggaran yang diterima kementan cenderung turun secara terus menerus sejak 2015 hingga saat ini. Walau belanja di sektor pertanian, APBN kita berkontribusi sekitar Rp192 triliun di tahun 2021 yang secara komprehensif, termasuk dukungan melalui transfer ke daerah melalui dana desa (TKDD) yang spesifik diarahkan kepada sektor pertanian.
Diluar itu, apakah Dana Alokasi Khusus (DAK), dana bagi hasil, dana insentif daerah, otonomi khusus, dan dana desa bagi petani dan nelayan. Serta program kesejahteraan petani melalui pembangunan perumahan rakyat yang dikerjakan oleh Kementrian PUPR. Pagu anggaran Kementan sesungguhnya terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun sejak 2015 sebesar Rp 32.72 triliun. Kemudian turun pada 2016 menjadi Rp 27.72 triliun, selanjutnya pada tahun 2017 Rp 24.23 triliun, dan pada tahun 2018 masih terjadi penurunan menjadi Rp 23. 90 triliun.
Tidak sampai disitu, pada tahun 2019 dialokasikan turun lagi menjadi Rp 21.71 triliun, dan hal itu berlanjut pada tahun 2020 ditetapkan sebesar Rp 21,05 triliun. Hingga tahun 2022 ini pun kementan hanya mendapat Rp 14,45 triliun.
Mari kita bandingkan ketika pemerintah mengalokasikan Rp 542,8 Trilyun untuk anggaran Pendidikan, melalui Kemendikbudristek, Kemenag, BRIN, dan melalui Transfer Keuangan ke Daerah, anggaran sebesar 20% tersebut dapat kita simpulkan bahwa pemerintah terus berusaha mencerdaskan bangsanya, walau dibalik itu masyarakat petani terus berpindah profesi dan cenderung menjadi pekerja pabrik atau sektor jasa lainnya.
Penerapan kebijakan kepada sektor pendidikan sudah berlangsung sejak era SBY yang mementingkan sisi dukungan dari organisasi guru demi melanggengkan kekuasaannya. Ditambah lagi penerapan sertifikasi guru yang dirasakan tidak mengikis kesenjangan pendapatan bahkan semakin memperparah disparitas kesejahteraan antara guru honorer dengan guru PNS tersebut.
Pertanian merupakan sektor penopang terbesar kedua bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) yang berkontribusi sebesar 13,28% terhadap PDB nasional. Dari sisi nilai, ekspor Indonesia juga dirasakan meningkat pesat. Nilai ekspor tahun 2018 mencapai Rp 499,3 triliun. Namun jika dilihat total eksport produk pertanian periode januari – oktober 2021 termasuk produk olahan pertanian mencapai Rp 518,85 Triliun.
Indonesia memang belum seagresif China yang memiliki kebijakan untuk menyewa dan membeli lahan di sejumlah negara dalam membuka ruang pertanian berbasis teknologi yang dikembangkannya di Amerika Serikat yakni di Missouri. Lalu, Brasil, Kamboja, dan Australia.
Revolusi hijaunya juga merambah rumah tangga, sehingga pemerintah menyerukan agar tanah pekarangan rumah dimanfaatkan untuk ditanam kebutuhan dapur. Maka tak heran jika PDB Sektor pertanian China tahun 2022 sebesar Rp 23.658 Trilyun, angka tersebut tentu menjadi mustahil di capai Indonesia, mengingat pagu anggarannya yang mengalami penurunan hingga saat ini.
Kita berpikir bahwa negeri kita selama lebih dari 15 tahun ini, sedang menciptakan manusia yang pintar walau pada akhirnya ditengah perjalanan, manusianya akan mati oleh karena faktor kelaparan yang menjadi kekhawatiran bagi kita semua pula. Kebijakan memangkas anggaran sebagaimana yang dilakukan oleh menteri keuangan yang merupakan mantan direktur bank dunia, belumlah sepenuhnya paham bagaimana pentingnya ketahanan pangan nasional.
Di Indonesia, buruh tani merupakan profesi seseorang yang bekerja di bidang pertanian. Profesi ini berkaitan dengan proses budidaya tanaman dengan tujuan untuk memperoleh hasil pertanian untuk dijual maupun digunakan pribadi, profesi ini banyak ditinggalkan oleh karena dianggap tidak mensejahterakan masyarakat yang menggelutinya.
Namun di Eropa khususnya Finlandia, gaji buruh tani ternyata bisa mencapai 2.808 euro atau sekitar Rp 46 juta rupiah per bulan. Sedangkan rata-rata gaji seorang manajer pertanian bisa sekitar 6.777 euro Rp112 juta. Kenyataan ini sungguh menjadi kontras dari apa yang terjadi di Indonesia. Sebab apa yang dianggap penting bagi eksistensi Indonesia dimata di dunia justru malah kita tinggalkan.
Akan tetapi hal sebaliknya justru terjadi, manakala apa yang dianggap tidak penting di mata dunia seperti fanatisme beragama yang radikal dan ekstrem, serta maraknya politik identitas yang mengesampingkan persatuan dan persatuan berbangsa dan bernegara, justru dianggap menjadi sangat penting untuk kita bahas terus menerus oleh para pakar dan petinggi di republik ini.
Sehingga politik anggaran pun cenderung disesuaikan dengan keberpihakkan terhadap eksistensi kekuasaan dan lebih mengutamakan kepentingan politik dari pada nasib masyarakat yang masih berhimpitan dengan kemiskinan dan kesenjangan sosial saat ini. Revolusi hijau dan sasaran membangun ketahanan pangan belum menjadi fakta lapangan, sebab harga-harga barang, khususnya produk pertanian dirasakan masih terlampau tinggi bila dibandingkan dengan daya beli masyarakat.
Penulis : Andi Salim
Editor : Aswat