Mengenal Perbudakan Orang Rantai Era Kolonial Hingga Milenial?
Kasatnews.id , Batu Bara – Bercerita tentang perbudakan di jaman kolonial Belanda tentu menyayat hati bagi rakyat Indonesia yang mengetahui kisah nya. Sebab, tidak hanya perbudakan saja yang di alami Rakyat Indonesia, melainkan siksaan dan eksploitasi sumber alamnya juga dijarah oleh para penjajah di kala itu.
Ada kisah menarik jika diamati tentang “benang merah” atas persamaan ketika di jaman Kolonial hingga di jaman Milenial terhadap perbudakan di Indonesia.
Tidak sedikit rakyat Indonesia menafikan bahwa perbudakan terus berlangsung di berbagai belahan dunia, tak luput di Indonesia, salah satu nya perjanjian mengatasnamakan Momerandum Of Stunding (MoU) tentang pekerja di Indonesia. Manakala para pekerja didalam perjanjian tidak akan di eksploitasi terhadap Konversi yang tertuang di dalam MoU, sebagaimana sudah menjadi aturan dan peraturan UU yang berlaku di negara ini.
Namun tetap saja ada modus penjajahan dengan motif Konversi para pekerja dari Legal menjadi Ilegal, dan itu akan menjadi sebuah perbudakan ala Milenial dan nyaris hampir sama dengan di jaman Kolonial Belanda perbudakan kisah orang rantai.
Dan untuk itu hanya ada satu kata, Lawan.!
Hapuskan penjajahan di muka bumi, hidup merdeka atau mati, itu lah slogan perjuangan yang harus dipekikkan para pekerja di seluruh tanah air saat ini sebagai bentuk kemerdekaan yang demokratis.
Dikisahkan dijaman Kolonial Belanda terhadap perbudakan terang-terangan melakukan infasi (penjajahan) yang awal nya (Modus) perniagaan hingga melakukan penjajahan.
Dari eksekusi dan perkusi perbudakan mereka (penjajah) lakukan demi untuk kelompok dan golongan mereka lakukan di tanah air, hingga menangkap para pemberontak dan menjadikan nya tawanan perang dan di perbudak dengan cara dirantai.
Kemudian mereka dikirim ke berbagai daerah oleh Kolonial Hindia Belanda, hingga termasuk ke Batavia. Mereka dianggap sebagai pesakitan (Tahanan), yakni tahanan kriminal atau politik yang berasal dari berbagai wilayah di tanah air. Ada dari pulau Jawa dan pulau Sumatera.
Selanjutnya di eksploitasi sebagai pekerja dan dibawa ke Sawahlunto dengan kaki, tangan, dan leher diikat rantai, mereka dipaksa bekerja sebagai kuli tambang batu bara dengan kondisi kaki, tangan, dan leher yang masih dirantai.
Dalam bahasa Belanda, para kuli disebut ketingganger atau orang rantai. Diceritakan, orang rantai yang bekerja di lubang tersebut berjumlah hingga ratusan orang. Mereka diperlakukan dengan tidak manusiawi dan bekerja siang hingga malam serta tidak mendapatkan makanan yang layak.
Orang rantai adalah pekerja paksa yang didatangkan Belanda ke Sawahlunto untuk menggali tambang batu bara dan menyiapkan infrastruktur untuk keperluan tambang. Belanda mendatangkan orang rantai dari penjara-penjara di Batavia, Makassar, Bali, Madura, dan sebagian besar dari daerah Pulau Jawa lainnya.
Mereka didatangkan pada kurun 1892-1938 dengan kapal-kapal penumpang yang mengangkut orang-orang Belanda dan Eropa. Sepanjang perjalanan, kaki dan tangan para tahanan itu diikat dengan rantai besi. Selama pelayaran yang memakan waktu 3-5 hari, orang rantai ditempatkan di dek-dek pengap di bagian lambung kapal dan berdesak-desakkan. Mereka yang melawan diancam hukuman cambuk atau diceburkan ke laut.
Penderitaan selama pelayaran ini memunculkan tekad bersaudara di antara sesama orang rantai, terutama yang berasal dari Jawa. Orang rantai ini dibawa menuju pelabuhan kecil Teluk Bayur di kota Padang. Di sana mereka kemudian membangun pelabuhan besar untuk keperluan batu bara yang kemudian dikenal sebagai pelabuhan Emma Haven.
Orang rantai juga dipekerjakan untuk membangun jalur kereta api dari Teluk Bayur ke Sawahlunto. Tahanan orang rantai ini kemudian digiring menuju Sawahlunto untuk masuk ke lubang-lubang gelap perut bumi Sawahlunto guna menggali batu bara di tambang Ombilin (Sawahlunto).
Arang hitam itu di ekploitasi, tetapi kisah orang rantai luput dari peradaban dimasa kolonial Belanda yang kejam, hingga paradigma orang rantai kini menjelma dalam bentuk yang katanya lebih modernisasi di era Milenial?
Tulisan ini di kutip dari Peradaban Kisah Sejarah Tanah Air.
Penulis : Kasat