Mengenang Kebesaran Jiwa Tokoh Seorang Buya Hamka
Kasatnews.id , Batu Bara – Saat itu karena dianggap melawan pemerintah, M Yamin dan Soekarno berkaloborasi menjatuhkan wibawa Buya Hamka melalui beberapa media cetak yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer.
Berbulan-bulan Pram menyerang Buya secara bertubi-tubi melalui tulisan-tulisannya dikoran. Namun, tampaknya Buya Hamka terlalu kuat dan tidak bisa dijatuhkan dengan serangan sang pembunuhan karakter. Akhirnya Soekarno langsung menjebloskan ulama besar tersebut ke penjara tanpa proses persidangan.
Dua tahun empat bulan didalam penjara tak membuat Buya bersedih. Buya justru bersyukur telah dipenjara, karena di dalam penjara tersebut beliau memiliki lebih banyak waktu untuk menyelesaikan cita-citanya, merampungkan tafsir Al-Qur’an 30 Juz. Yang sekarang lebih kita kenal dengan nama Kitab Tafsir Al-Azhar.
Lalu bagaimana nasib tiga tokoh yang pernah menzaliminya dikemudian hari? Ternyata Allah masih sayang kepada mereka. Allah mengijinkan persoalan tersebut untuk diselesaikan di dunia saja.
Di usia senjanya Pram akhirnya mengakui kesalahannya di masa lalu dan dengan rendah hati bersedia minta maaf. Pram juga mengirimkan putri sulungnya kepada Buya untuk belajar Agama dan men-syahadat-kan calon menantunya. Buya pun menerimanya dengan lapang dada.
Ketika M Yamin sakit keras, beliau meminta orang terdekatnya untuk memanggil Buya Hamka, lalu meminta maaf dan memohon agar Buya sudi mengantarkan jenazahnya kelak untuk dikebumikan di kampung halamannya. Dan Buya pun dengan besar hati menyanggupinya.
Dan untuk Soekarno ada peristiwa yang cukup mengharukan. Hari itu 16 Juni 1970, ajudan Presiden Soeharto datang kerumah Buya dengan membawa secarik kertas berisi sebuah pesan. Pesan tersebut berasal dari Soekarno, dengan seksama Buya membaca isi pesan tersebut.
“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi Imam sholat jenazahku”.
Buya Hamka bertanya pada sang ajudan,
“Dimana Beliau sekarang?”
Sang ajudan menjawab,
“Bapak Soekarno telah wafat di RSPAD, jenazahnya sedang dibawa ke Wisma Yaso”
Seketika, mata sayu Buya Hamka berkaca-kaca menahan haru yang menyesakkan dada. Betapa sangat lembutnya hati sang ulama besar ini. Kini umat Islam seluruh belahan Nusantara sangat merindukan sosok-sosok pribadi seperti Buya Hamka ini.
Begitu besar jiwa seorang tokoh bernama Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal Buya Hamka, beliau pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dikenal pula sebagai tokoh Masyumi dan ulama Muhammadiyah.
Semasa hidupnya ia menjadi tokoh yang toleran terhadap perbedaan, namun tegas dalam hal-hal prinsip keagamaan. Selain itu ia juga seorang sastrawan ternama, dari berbagai tulisan yang pernah ia buku kan terkandung pilosofi kehidupan dan pedoman prinsif dalam menjalani kehidupan di dunia pana ini.
Semasa hidup nya, Almarhum memiliki karyanya yang paling terkenal yaitu, Tahfiz Al Azhar, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli, Tuan Direktur, Terusir, Di Tepi Sungai Dajlah, Dari Perbendaharaan Lama (menyingkap Sejarah Islam di Nusantara), Buya Hamka adalah sosok ulama besar dan juga penulis ternama.
Tak hanya agama, Buya juga menguasai berbagai ilmu yakni filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Buya mempelajari semua itu secara otodidak, tanpa pendidikan khusus. Jurnalistik pun menjadi salah satu ketertarikannya. Sejak awal 1920-an, Buya menekuni ilmu jurnalistik dan berkarir sebagai wartawan, penulis, editor, dan penerbit di berbagai surat kabar.
Buya Hamka Lahir pada 17 Februari 1908, di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat dan meninggal dunia pada hari Jumat di bulan Rhamadan 24 Juli 1981 di Jakarta.
Kepergian Hamka menghadap sang khalik tentu menimbulkan kesedihan mendalam bagi hampir seluruh umat Islam di Indonesia.
(As/BB)
(Dikutip dari berbagai sumber Media)