Membangun Kesamaan Pandang Terhadap Nilai Kebaikan dan Tujuan Perjuangan
Kasatnews.id , Jakarta – Persepsi nilai-nilai kebaikan baik yang datangnya melalui buah pembelajaran agama atau pun nilai-nilai budaya dalam memupuk moralitas bangsa yang menjadi realitas saat ini, terus menjadi diperdebatkan, manakala sebagian mengambil makna bahwa moralitas spiritual itu terbangun dari sisi budaya yang setidaknya ikut memberikan aspek kebaikan pada sisi yang berbeda bagi para pegiatnya, serta kiprah keagamaan yang hingga saat ini pun dirasakan tetap aktif memberikan dampak positif bagi pembangunan moralitas yang justru dianggap paling kompeten. Tentu menjadi pemikiran kita semua, siapa yang sepantasnya mengklaim dari objektifitas akan hal ini.
Pada dasarnya kebudayaan merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal. Sehingga pada sisi kebudayaan pun ikut memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan sesuai kehendak Tuhan dan kemanusiaan pada pengertian yang sama dalam membangun tatanan kehidupan manusia. Akan tetapi dialektika antara agama dan budaya berubah menjadi ketegangan oleh karena budaya sering dianggap tidak sejalan dengan agama dari suatu ajaran yang bersifat absolut.
Baru-baru ini masyarakat islam terhentak pada pernyataan Buya Syakur yang menyatakan bahwa islam merupakan agama yang menurutnya tidak sempurna. Tentu saja hal ini mendapat penolakan dari sebagian masyarakat islam indonesia, namun dibalik pernyataannya tersebut, kita perlu pula mengkaji lebih dalam apa yang menjadi landasan berfikirnya, serta kemana arah tujuan pernyataannya sesungguhnya. Sehingga buah pemikirannya tersebut menjadi bagian yang utuh dan tidak menjadikannya semata-mata disudutkan pada pemahaman yang salah atau disalahkan begitu saja.
Pengertian islam sempurna itu dipahami bahwa ajaran islam itu mencakup segala petunjuk yang dibutuhkan manusia dari sebuah agama sebenarnya dirasakan cukup. Sama halnya ketika kita mengilustrasikannya pada penggunaan fitur yang terdapat pada handphone kita saat ini, walau sudah memiliki kelengkapan fitur yang dibutuhkan, namun pemakainya tidak memahami bagaimana mengoptimalkan penggunaannya maka kelebihan fitur-fitur tersebut akan sia-sia belaka, demikian pula mengambil kesempurnaan dari sebuah ajaran bahkan umatnya cenderung terhenti pada pemahaman dan pengertian yang dangkal, sehingga fitur-fitur yang tersedia pun tidak terpakai bahkan menampakkan bentuk ketidak sempurnaan dari pemakainya.
Ilustrasi mengenai itu seumpama terdapat 10 fitur yang terdapat di dalam Hp kita gunakan saat ini, dimana kita hanya memakai sebatas 4 atau 5 fitur yang tersedia, tentu saja menjadi tidak efektif serta output dari HP tersebut terlihat menjadi tidak sempurna, sehingga membuat penampilan islam yang seolah-olah terlihat tidak sempurna. Hal itu disebabkan oleh rendahnya daya serap umat terhadap pemahaman agama itu sendiri yang hanya mengambilnya pada sikap fanatisme kebutaan semata.
Menjadikan islam yang lebih terbuka dan dinamis agar berakselerasi pada perkembangan jaman yang tak terelakkan adalah sisi penting guna menyelamatkan ajaran agama yang baik, tidak merespon hal ini tentu berdampak pada tumpulnya kemampuan jawab dari para pemangku kepentingan eksistensi agama itu sendiri, sebab perbedaan sudut pandang dari petikan atas ayat-ayat yang dikemukakan adalah khasanah yang belum tentu bertentangan. Bahkan bisa saja hal itu justru dibutuhkan demi membuka tabir pengertian baru yang mengarah pada perkembangan serta kebangkitan yang diperlukan.
Cara beragama yang sering terlihat semakin jauh dari hal yang semestinya, sebab tanpa melihat aspek lain yang terdapat didalam petunjuk yang tersedia dari suatu ajaran agama, justru menjadi kontraproduktif dengan tujuan dari pelaksanaan agama itu sendiri, yaitu bagaimana tujuan beragama itu untuk dihubungkan atau berhubungan secara pribadi terhadap Tuhannya, serta menjangkau sisi kemanusiaan yang dilandasi pada pengertian saling tolong menolong demi saling menyelamatkan eksistensi kemanusiaan itu.
Oleh karenanya, kita semua terjebak pada aspek yang rendah dan dangkal dalam memberikan kontribusi dari implementasi agama yang sesungguhnya, sebab pemahaman dan pengetahuan yang sempit menjadi penyebab hal itu terjadi. Landasan pokoknya yang berupa Al-Quran, lalu ditambahkan petunjuk pelaksanaannya sebagaimana sunnah dan hadist-hadist yang dijabarkan, serta ditambah lagi dari uraian Asbabun Nuzul yang menceritakan sebab akibat diturunkannya ayat, tentu harus selaras untuk dipahami secara utuh dari sanad-sanad yang dituangkan mengenai hal itu secara lengkap.
Peningkatan kemampuan untuk menjawab dan memberikan arah serta arus keterbukaan adalah cara melihat persoalan itu semakin menjadi jernih, termasuk dari para muslimat yang seharusnya mampu memberikan dampak positif terhadap pengertian ukhwah islamiyah itu kedalam dorongan persatuan dan kesatuan bangsa demi membangun sikap kemanusiaan yang baik tanpa memandang perbedaan yang khasanah pula. Sehingga islam tidak perlu mengeksklusifkan dirinya menjadi faksi kelompok yang terpisah, ditakuti, apalagi sengaja untuk mengintimidasi golongan lain yang berbeda.
Memandang dan merasa dirinya dilabelkan sebagai mayoritas tidak berarti bahwa umat islam harus terus berada didepan, jika dampaknya hanya menjadi terlihat sebagai contoh dari mereka yang kurang pantas, hal ini tentu akan mudah terlihat menjadi posisi yang buruk dari out look yang ditampakkannya, jika umat islam justru menampakkan dirinya pada kesombongan, keangkuhan dan sikap arogansi terhadap kelompok lain, hal itu malah bukan sebagai esensi pembelajaran agama itu sendiri, dimana pedoman beragama itu berpijak pada 3 point penting dalam beragama yang sepatutnya dipegang teguh, yaitu agama sebagai aspek ritual, agama sebagai upaya membangun spiritual umat, serta agama sebagai ajakan sosial yang harus terus ditumbuhkan agar masyarakat tidak terjebak pada seremonial yang sama sekali menjadi keliru dan melemahkan.
Penulis : Andi Salim
Editor. : Aswat