Kenaikan Harga BBM Subsidi Versus Daya Beli Masyarakat
Kasatnews.id , Jakarta – Kenaikan harga BBM telah diumumkan dan mulai berlaku pada hari Sabtu 3 September 2022, dampaknya tentu menuju kepada kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi ditengah masyarakat. Walau dari beberapa indikator sejarahnya kenaikan harga BBM tersebut berpengaruh pada penurunan konsumsi BBM khususnya pasca di umumkannya kenaikan harga tersebut oleh pemerintah, namun banyak pihak yang merasa strategi ini sebagai politik yang memilukan bagi kondusifitas penyalurannya. Sebab penikmat BBM subsidi itu belum pernah terawasi secara ketat, sehingga penikmat subsidi itu nyaris dimonopoli oleh mereka yang mampu alias kelompok menengah keatas atau mereka yang memiliki kendaraan roda empat saja.
Bahkan Jokowi dianggap tidak peka dari cara pemberlakuan mekanisme penyaluran subsidi ini, sebab konsumsi BBM subsidi yang notabenenya hanya 20% lebih oleh pengguna sepeda motor, harus ikut menanggung resiko kenaikan harga yang saat ini diberlakukan. Padahal dari jenis kendaraannya saja, siapa pun bisa mengambil kesimpulan bahwa mereka tergolong kedalam ekonomi yang kurang mampu. Apalagi jika para pekerja formal yang dipahami dengan pendapatan terbatas serta menjadi sandwich generation pula. Betapa berat dan sulitnya hidup mereka saat ini. Selain menanggung keluarga dan orang tua, mereka pun harus merogoh koceknya lebih dalam untuk sebisanya berhemat hingga akhir bulan nanti.
Ada rencana bantalan yang dilakukan oleh pemerintah melalui program bantuan langsung tunai, termasuk terhadap bantuan upah pekerja sebesar Rp 600.000 / bulan. Namun siapa yang berani bertaruh jika pasca kenaikan harga BBM subsidi itu, segala kebutuhan pokok tidak akan merangkak naik, atau malah melebihi dari bantuan yang di terimanya sebagai bantalan atas program pemerintah tersebut. Memang harus diakui bahwa kenaikan BBM subsidi itu untuk mengurangi beban APBN agar tidak memikul anggaran tahun ini yang cukup besar yaitu sebesar 502,4 Trilyun. Namun mengalihkannya kepada alokasi lain pun bukanlah cerita yang enak untuk didengarkan.
Ide mengalihkan anggaran subsidi BBM sudah sejak lama masyarakat dengar, agar alokasi anggaran sektor pendidikan dapat dinaikkan, apalagi sejak era SBY pun ditetapkan sebesar 20% yang nyaris tidak berkurang sedikit pun, termasuk pada era jokowi masih saja diberlakukan secara konsisten. Namun bagaimana penilaian kita terhadap keadaan dunia pendidikan saat ini, adakah kondisinya lebih baik. Apakah segalanya berjalan tanpa pungli dari penerimaan siswa dan lain sebagainya. Bahkan tak tanggung-tanggung, kesenjangan pendapatan guru honorer dan guru PNS saja gagal dipangkas. Apalagi pasca diberlakukannya sertifikasi guru yang entah kemana penerapannya. Sehingga kebijakan tersebut justru semakin menajam pada akhirnya.
Mereka yang duduk sebagai pemangku kebijakan pun telah kehilangan kepekaannya yang tak lebih sekedar melantunkan perumpamaan subsidi yang 502,4 trilyun itu jika ditukar dengan bangunan sekolah akan bisa digunakan untuk 227.886 gedung Sekolah dan 3.333 rumah sakit sebagaimana yang disampaikan Sri Mulyani beberapa waktu lalu. Namun sangat disayangkan, kenapa mereka tidak menghitung beban hidup, dimana saat ini saja rakyat sudah sedemikian terhimpitnya. Tanpa kenaikan harga BBM saja, saat ini biaya hidup mereka sudah sangat kekurangan, apalagi ditambah akibat naiknya inflasi nantinya. Dimana kenaikan harga barang sudah barang tentu akan terjadi.
Kenapa pemerintah tidak berani memberlakukan penggunaan subsidi BBM Pertalite hanya untuk para pengguna sepeda motor yang notabenenya lebih ringan untuk ditanggung. Serta subsidi BBM Solar yang dikhususkan untuk angkutan barang dan jasa semata. Sehingga tidak terjadi kegoncangan dimasyarakat. Sebab diluar itu justru hampir 80 % para pengguna BBM subsidi itu datang dari mereka yang berasal dari menengah keatas yang notabenenya tergolong kelompok berduit. Atau pemerintah disinyalir telah dikelabui oleh pihak pertamina berikut jaringan SPBU / Pom Bensinnya yang mengatakan hal ini sulit dilakukan / diberlakukan. Demikian juga hal yang terjadi terhadap distribusi gas elpiji 3 kg yang nyaris berjalan dilorong yang senyap.
Pemberlakuan Bantuan Langsung Tunai bukanlah cara yang kredible untuk diberlakukan. Selain sarat akan korupsi dan pungli, stimulus kebijakan ini pun tidak menyelesaikan persoalan. Apalagi pemberlakuan kenaikan BBM tanpa menekan siapa penggunanya agar presisi dengan tujuan kebijakan subsidi ini. Jika dibiarkan, anggaran subsidi ini menjadi sarang penggelapan sebab tidak ada phisik apapun yang terbangun kecuali hanya membakar anggaran yang tak berkesudahan dibalik misi dengan mengatasnamakan penyelamatan daya beli masyarakat yang fakir. Jika pemerintah berfikir, dengan memangkas 80% pengguna BBM subsidi dari mereka yang mampu, tentu APBN pun tidak diberatkan lagi.
Penulis : Andi Salim
Editor : Khairil Aswat